ABDULLAH IBN RUWAHAH (w. 8 H)
Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dari kalangan Anshar suku Khadraj, yang terkenal sebagai pujangga dan penyair. Ia juga merupakan salah satu dari 3 panglima perang yang gugur dalam perang mu’tah.
Ia termasuk orang yang memeluk agama Islam dari sejak dini yang merupakan salah seorang pimpinan dalam baiat Aqabah. Ia merupakan salah seorang dari 12 orang (dari 73 orang) anshar yang dibaiat di bukit aqabah sebelum nabi hijrah.
Ia mengikuti perang Badar dan peperangan-peperangan sesudah itu, akhirnya ia meninggal dalam perang Mu’tah,
sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa di medan perang. Ia menjadi
panglima ke-3 dalam perang Mu’tah setelah Ja’far bin Abi Thalib, Zaid
bin Haritsah, dan ketiga-tiganya tewas semua.
Abdullah Ibn Ruwahah Mencari Tuhan
Abdullah Ibn Ruwahah sering pula memandangi langit, mengamati perputaran siang dan malam, dan memperhatikan matahari dan bulan yang timbul tenggelam. Ia sering bertanya-tanya, siapakah yang mengatur peredaran bulan dan matahari yang tampak mengambang di cakrawala, lalu raib di balik ufuk? Ia tak yakin jika berhala-berhala yang diam tak bergerak itu yang menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Menciptakan dirinya saja tak bisa, lantas bagaimana mungin menciptakan sesuatu yang jauh lebih besar dan luar biasa seperti alam semesta?
Abdullah Ibn Ruwahah telah mengaktifkan akalnya untuk mencari Tuhan. Pencariannya diawali dengan mendatangi para penganut agama samawi yakni Yahudi yang ditemuinya di Madinah. Ia berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaannya pada agama yang paling tua di dunia ini. Ia juga tahu bahwa orang-orang Yahudi adalah pewaris agama Musa yang membawa Kitab Taurat. Tetapi kemudian bukannya kebenaran yang ia dapatkan, ia justru melihat mereka telah menyimpangkan agama yang diwariskan Musa, ditambah dengan begitu buruknya akhlak yang semakin menjauhkan simpatinya dari mereka. Hanya satu yang ia dapatkan dari mereka yaitu berupa informasi akan datangnya seorang nabi baru, seorang utusan yang selalu diperbincangkan oleh orang-orang Yahudi sepeninggal Nabi Musa as.
Ketertarikan Abdullah Ibn Ruwahah pada kabar akan datangnya nabi baru inilah yang membawanya ikut dalam rombongan penduduk Yatsrib untuk bertemu dengan nabi yang dijanjikan di dalam Taurat tersebut. Pertemuan dengan Muhammad Saw di Mekkah telah menuntaskan jawaban Abdullah Ibn Ruwahah selama ini. Kebenaran tentang Tuhan Pencipta segala sesuatu telah dia temukan di dalam Islam. Islam telah mengarahkan akal manusia untuk memikirkan alam semesta dan manusia untuk mencari bukti akan keberadaan Dzat Yang Maha Kuasa. Islam datang untuk membantah keyakinan orang-orang Quraisy yang dogmatis.
“Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.” Begitulah bunyi firman Allah di dalam Surah al-Anbiya ayat 22 yang menegaskan bahwa Tuhan satu-satunya hanyalah Allah. Dia Ahad dan tak berbilang. Akhirnya akal Abdullah Ibn Ruwahah terpuaskan, ia menemukan kebenaran tunggal di dalam Islam. Andaikan ia hanya sekedar memenuhi tuntutan naluri beragama saja tanpa melalui proses berfikir, tentulah ia sudah berkubang dengan kemusyrikan orang-orang Quraisy. Andaikan pula ia tak menimbang-nimbang dengan akalnya mana agama yang benar dan mana yang salah, tentu kita tak mendapatkan nama Abdullah Ibn Ruwahah dalam sejarah perang kaum Muslim dengan tentara Romawi.
Inilah Abdullah Ibn Ruwahah, yang beriman bukan dengan cara bertaqlid, tetapi beriman dengan cara yang haq dan rasional. Dan pada akhirnya kita mendapatkannya sebagai sahabat Nabi Saw yang memiliki energi iman yang dahsyat. Energi iman yang membuat tentara Romawi gentar di Mu’tah. Seratus ribu pasukan terbaik Romawi tidak berhasil menyulut ketakutan di hati Abdullah Ibn Ruwahah. Satu persatu ia mendeportasi tentara Romawi ke alam baka hingga ia tersungkur di medan laga perang Mu’tah sebagai syahid, menyusul Ja’far dan Zaid yang telah wafat lebih dulu.[]
PANGLIMA SYAHID YANG KE-3
Pengaruh
penolakan raja-raja di luar Jazirah Arab terhadap surat Rasul setelah para
delegasinya kembali dari penyampaian dakwah (surat) membuat Rasul segera
menyiapkan pasukan untuk jihad di luar Jazirah Arab. Beliau kemudian mendeteksi
berita-berita tentang kerajaan Romawi dan Persi. Perbatasan Romawi menempel
dengan batas wilayah Rasul. Karena itu, beliau menyelidiki kabar-kabar mereka.
Beliau berpandangan bahwa dakwah Islam akan tersebar luas dan banyak ketika
sudah keluar dari Jazirah Arab sehingga semua manusia dapat mengetahuinya.
Karena itu, beliau juga melihat bahwa Syam adalah jendela pertama untuk jalan
masuk dakwah.
Ketika
Yaman sudah aman dengan ketundukan penguasa bawahan Kisra terhadap dakwah
Islam, maka beliau mulai berpikir mengirim pasukan ke negeri Syam untuk
memerangi mereka. Pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 setelah hijrah, yakni
setelah perjanjian Hudaibiyyah dalam beberapa bulan, Rasul menyiapkan 3000
pasukan pejuang pilihan dari pahlawan-pahlawan Islam. Beliau mengangkat Zaid
bin Haritsah sebagai komandan pasukan. Pada waktu mengangkat Zaid, beliau
berpesan, "Jika Zaid gugur, maka
Ja'far bin Abi Thalib menggantikan posisinya. Jika Ja'far pun gugur, maka
'Abdullah bin Ruwaahah mengambil posisinya memimpin pasukan."
Pasukan
berangkat dan Khalid bin Walid bersama mereka. Dia telah masuk Islam setelah
perjanjian Hudaibiyyah. Rasul ikut mengantarkan mereka hingga tiba di luar
Madinah dan sebelum pasukan berangkat, beliau berpesan lagi supaya mereka tidak
memerangi wanita, tidak membunuh anak-anak, orang buta, bayi-bayi, tidak boleh
merobohkan rumah-rumah, dan tidak menebang pohon-pohon. Kemudian
wejangan-wejangan ditutup dengan doa bersama: "Semoga Allah selalu menemani kalian, mempertahankan kalian, dan
mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan selamat."
Pasukan
berangkat. Para komandannya menyusun strategi dengan menerapkan perang kilat,
yaitu dengan membentuk sekelompok pasukan dari penduduk Syam di bawah seorang
komandan dari kesatuan mereka. Cara ini mencontoh kebiasaan Nabi dalam beberapa
peperangannya. Pasukan ini diberi tugas untuk menyerang musuh dengan cepat dan
kembali menghilang. Mereka harus tetap berjalan di atas garis ini. Akan tetapi,
ketika tiba di Ma'an, pasukan Islam baru menyadari bahwa Malik bin Zafilah telah
mengumpulkan 100.000 tentara dari kabilah-kabilah Arab, sementara Hiraqlius
sendiri datang dengan 100.000 pasukan. Berita ini tentu mengejutkan pasukan
Islam dan sempat tinggal di Ma'an
selama dua malam untuk memikirkan persoalan ini. Mereka berpikir langkah apa yang harus dilakukan dalam
menghadapi pasukan besar yang jumlah dan
kekuatannya amat menggiriskan. Pendapat yang terkuat di antara mereka
mengusulkan agar menulis surat kepada Rasul untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh yang begitu besar. Ada
juga yang berpendapat agar segera meminta bantuan Rasul untuk menambah pasukan
atau memerintahkan mereka dengan apa yang dilihat. Namun, Abdullah bin Ruwahah
justru berpendapat lain. Dia maju lebih ke depan lalu berkata lantang di
hadapan kaum muslimin, "Hai kaum,
demi Allah, sesungguhnya yang kalian benci justru yang kalian cari, yaitu syahid! Kita keluar tidak memerangi manusia
karena jumlah pasukan [yang besar], jika tidak dengan kekuatan, dan tidak juga
dengan pasukan yang banyak. Kita tidak berperang kecuali dengan agama yang
Allah memuliakan kita dengannya. Marilah kita berangka! Sesungguhnya di tengah kita akan ada satu di
antara dua kebaikan: menang atau mati
syahid!"
Kata-kata
ini membakar semangat pasukan Islam. Kekuatan iman yang mendorong bertempur
menjalar dan menembus jantung pasukan, sehingga mereka dipacu untuk melanjutkan
perjalanan hingga tiba di Desa Masyarif.
Di tempat ini, pasukan gabungan Romawi
bertemu mereka, lalu mereka menyingkir dari Masyarif dan turun ke Mu'tah. Di
tempat ini, pasukan Islam membuat pertahanan. Di tempat ini pula (Mu'tah)
peperangan yang paling dahsyat dan menakutkan mulai terjadi. Pasukan Islam
dan Romawi bertempur untuk saling
mengalahkan. Maut mengangakan mulutnya
yang merah. 3000 pasukan Islam yang mencari syahid harus bertempur mati-matian
melawan 100.000 atau 200.000 pasukan
kafir yang bersatu untuk membinasakan pasukan kaum muslimin. Api
peperangan bergelombang dan bergulung-gulung
seperti gulungan tungku api. Zaid bin Haritsah, komanda tempur pasukan Islam,
membawa bendera Nabi dan bergerak maju ke jantung pertahanan musuh. Dia melihat
maut membayang di hadapannya, namun dia tidak takut karena dia memang mencari
syahid di jalan Allah. Zaid terus merangsek ke tengah pertahanan musuh dengan
keberanian yang melampaui batas gambaran khayalan karena dia bertempur
dengan mencari syahid. Hingga akhirnya,
sebatang tombak musuh berhasil merobek tubuhnya. Zaid tersungkur dan bendera
segera diambil Ja'far bin Abi Thalib. Dia seorang pemuda tampan dan pemberani.
Umurnya masih 33 tahun. Hidupnya sudah dipasrahkan pada Allah. Laki-laki gagah,
adik Ali bin Abi Thalib ini berperang dengan
mencari syahid. Ketika musuh
telah mengepung kudanya dan melukai tubuhnya,
Ja'far justru semakin maju ke tengah musuh dengan memukulkan pedangnya
memutar. Tiba-tiba seorang tentara Romawi menyerang dan memukulnya dari arah
samping. Pukulan itu berhasil membelah tubuhnya menjadi dua dan Ja'far gugur.
Lalu bendera disambar 'Abdullah bin Ruwahah, kemudian membawanya maju dengan menunggang
kuda. Namun, untuk beberapa saat, 'Abdullah sempat ragu dan maju-mundur, akan tetapi akhirnya dia melesat
ke depan dan berperang hingga akhirnya terbunuh juga di pedang musuh. Bendera
diambil Tsabit bin Aqram seraya berteriak lantang, "Hai kaum muslimin, pilihlah seorang komandan yang patut di antara
kalian!" Tidak berapa lama, mereka memilih Khalid bin Walid.
Khalid
memegang bendera dan bergerak memutar
sehingga berhasil merapatkan barisan pasukannya, kemudian membawanya berhenti untuk bertahan hingga
memasuki malam. Pada waktu itu dua pasukan saling menahan diri untuk tidak berbenturan hingga waktu subuh. Di tengah
malam, setelah melihat pasukan musuh yang sangat besar dan pasukannya yang
semakin menyusut dan lemah, Khalid mengambil keputusan untuk menarik mundur pasukannya dengan tanpa berperang.
Dengan pertimbangan ini, Khalid membagi-bagi pasukannya dalam beberapa kesatuan
kecil dan memerintahkan mereka membuat asap (kepulan debu) dan keributan di waktu
subuh yang sekiranya akan menimbulkan gambaran pada musuh bahwa pasukan Islam
telah mendatangkan pasukan bantuan dari Nabi saw. Ketika taktik ini dilakukan,
musuh benar-benar cemas dan mereka segera mengurungkan niat menyerang kaum
muslimin. Pasukan Islam bergembira karena
tanpa Khalid melanjutkan serangan,
musuh sudah mengambil keputusan mundur, dan perang yang tidak berimbang
tidak terjadi. Kemudian diputuskan pasukan kaum muslimin kembali ke Madinah
meninggalkan medan dengan selamat berkat garis kebijakan yang diletakkan
Khalid. Dengan demikian, mereka kembali dengan tanpa dikalahkan dan
dihancurkan. Akan tetapi, dalam peperangan ini, mereka mendapat cobaan yang
mengandung pelajaran yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar