Jumat, 22 Juni 2012

ABDULLAH IBNU RUWAHAH, PANGLIMA SYAHID YANG KE-3

ABDULLAH IBN RUWAHAH (w. 8 H)


   Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dari kalangan Anshar suku Khadraj, yang terkenal sebagai pujangga dan penyair. Ia juga merupakan salah satu dari 3 panglima perang yang gugur dalam perang mu’tah.
   Ia termasuk orang yang memeluk agama Islam dari sejak dini yang merupakan salah seorang pimpinan dalam baiat Aqabah. Ia merupakan salah seorang  dari 12 orang (dari 73 orang) anshar yang dibaiat di bukit aqabah sebelum nabi hijrah.
 Ia mengikuti perang Badar dan peperangan-peperangan sesudah itu, akhirnya ia meninggal dalam perang Mu’tah, sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa di medan perang. Ia menjadi panglima ke-3 dalam perang Mu’tah setelah Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan ketiga-tiganya tewas  semua.

Abdullah Ibn Ruwahah Mencari Tuhan


Dalam sebuah riwayat diceritakan, Abdullah Ibn Ruwahah –seorang penyair yang terkenal- selalu bertanya-tanya mengapa banyak orang menyembah berhala-berhala yang tak bisa mendengar juga tak bisa melihat? Mengapa banyak orang Quraiys begitu gemar menuhankan benda-benda dan patung-patung yang dipahatnya sendiri? Bagaimana mungkin mereka meminta perlindungan kepada benda yang tak bisa melindungi dirinya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut begitu merangsang nalar seorang Abdullah Ibn Ruwahah yang terkenal dengan kepandaiannya merangkai syair-syair yang indah.
Abdullah Ibn Ruwahah sering pula memandangi langit, mengamati perputaran siang dan malam, dan memperhatikan matahari dan bulan yang timbul tenggelam. Ia sering bertanya-tanya, siapakah yang mengatur peredaran bulan dan matahari yang tampak mengambang di cakrawala, lalu raib di balik ufuk? Ia tak yakin jika berhala-berhala yang diam tak bergerak itu yang menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta. Menciptakan dirinya saja tak bisa, lantas bagaimana mungin menciptakan sesuatu yang jauh lebih besar dan luar biasa seperti alam semesta?
Abdullah Ibn Ruwahah telah mengaktifkan akalnya untuk mencari Tuhan. Pencariannya diawali dengan mendatangi para penganut agama samawi yakni Yahudi yang ditemuinya di Madinah. Ia berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaannya pada agama yang paling tua di dunia ini. Ia juga tahu bahwa orang-orang Yahudi adalah pewaris agama Musa yang membawa Kitab Taurat. Tetapi kemudian bukannya kebenaran yang ia dapatkan, ia justru melihat mereka telah menyimpangkan agama yang diwariskan Musa, ditambah dengan begitu buruknya akhlak yang semakin menjauhkan simpatinya dari mereka. Hanya satu yang ia dapatkan dari mereka yaitu berupa informasi akan datangnya seorang nabi baru, seorang utusan yang selalu diperbincangkan oleh orang-orang Yahudi sepeninggal Nabi Musa as.
Ketertarikan Abdullah Ibn Ruwahah pada kabar akan datangnya nabi baru inilah yang membawanya ikut dalam rombongan penduduk Yatsrib untuk bertemu dengan nabi yang dijanjikan di dalam Taurat tersebut. Pertemuan dengan Muhammad Saw di Mekkah telah menuntaskan jawaban Abdullah Ibn Ruwahah selama ini. Kebenaran tentang Tuhan Pencipta segala sesuatu telah dia temukan di dalam Islam. Islam telah mengarahkan akal manusia untuk memikirkan alam semesta dan manusia untuk mencari bukti akan keberadaan Dzat Yang Maha Kuasa. Islam datang untuk membantah keyakinan orang-orang Quraisy yang dogmatis.
Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.” Begitulah bunyi firman Allah di dalam Surah al-Anbiya ayat 22 yang menegaskan bahwa Tuhan satu-satunya hanyalah Allah. Dia Ahad dan tak berbilang. Akhirnya akal Abdullah Ibn Ruwahah terpuaskan, ia menemukan kebenaran tunggal di dalam Islam. Andaikan ia hanya sekedar memenuhi tuntutan naluri beragama saja tanpa melalui proses berfikir, tentulah ia sudah berkubang dengan kemusyrikan orang-orang Quraisy. Andaikan pula ia tak menimbang-nimbang dengan akalnya mana agama yang benar dan mana yang salah, tentu kita tak mendapatkan nama Abdullah Ibn Ruwahah dalam sejarah perang kaum Muslim dengan tentara Romawi.
Inilah Abdullah Ibn Ruwahah, yang beriman bukan dengan cara bertaqlid, tetapi beriman dengan cara yang haq dan rasional. Dan pada akhirnya kita mendapatkannya sebagai sahabat Nabi Saw yang memiliki energi iman yang dahsyat. Energi iman yang membuat tentara Romawi gentar di Mu’tah. Seratus ribu pasukan terbaik Romawi tidak berhasil menyulut ketakutan di hati Abdullah Ibn Ruwahah. Satu persatu ia mendeportasi tentara Romawi ke alam baka hingga ia tersungkur di medan laga perang Mu’tah sebagai syahid, menyusul Ja’far dan Zaid yang telah wafat lebih dulu.[]


PANGLIMA SYAHID YANG KE-3

Pengaruh penolakan raja-raja di luar Jazirah Arab terhadap surat Rasul setelah para delegasinya kembali dari penyampaian dakwah (surat) membuat Rasul segera menyiapkan pasukan untuk jihad di luar Jazirah Arab. Beliau kemudian mendeteksi berita-berita tentang kerajaan Romawi dan Persi. Perbatasan Romawi menempel dengan batas wilayah Rasul. Karena itu, beliau menyelidiki kabar-kabar mereka. Beliau berpandangan bahwa dakwah Islam akan tersebar luas dan banyak ketika sudah keluar dari Jazirah Arab sehingga semua manusia dapat mengetahuinya. Karena itu, beliau juga melihat bahwa Syam adalah jendela pertama untuk jalan masuk dakwah.

Ketika Yaman sudah aman dengan ketundukan penguasa bawahan Kisra terhadap dakwah Islam, maka beliau mulai berpikir mengirim pasukan ke negeri Syam untuk memerangi mereka. Pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 setelah hijrah, yakni setelah perjanjian Hudaibiyyah dalam beberapa bulan, Rasul menyiapkan 3000 pasukan pejuang pilihan dari pahlawan-pahlawan Islam. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pasukan. Pada waktu mengangkat Zaid, beliau berpesan, "Jika Zaid gugur, maka Ja'far bin Abi Thalib menggantikan posisinya. Jika Ja'far pun gugur, maka 'Abdullah bin Ruwaahah mengambil posisinya memimpin pasukan."

Pasukan berangkat dan Khalid bin Walid bersama mereka. Dia telah masuk Islam setelah perjanjian Hudaibiyyah. Rasul ikut mengantarkan mereka hingga tiba di luar Madinah dan sebelum pasukan berangkat, beliau berpesan lagi supaya mereka tidak memerangi wanita, tidak membunuh anak-anak, orang buta, bayi-bayi, tidak boleh merobohkan rumah-rumah, dan tidak menebang pohon-pohon. Kemudian wejangan-wejangan ditutup dengan doa bersama: "Semoga Allah selalu menemani kalian, mempertahankan kalian, dan mengembalikan kalian kepada kami dalam keadaan selamat."

Pasukan berangkat. Para komandannya menyusun strategi dengan menerapkan perang kilat, yaitu dengan membentuk sekelompok pasukan dari penduduk Syam di bawah seorang komandan dari kesatuan mereka. Cara ini mencontoh kebiasaan Nabi dalam beberapa peperangannya. Pasukan ini diberi tugas untuk menyerang musuh dengan cepat dan kembali menghilang. Mereka harus tetap berjalan di atas garis ini. Akan tetapi, ketika  tiba di Ma'an, pasukan Islam baru menyadari bahwa Malik bin Zafilah telah mengumpulkan 100.000 tentara dari kabilah-kabilah Arab, sementara Hiraqlius sendiri datang dengan 100.000 pasukan. Berita ini tentu mengejutkan pasukan Islam dan sempat tinggal di Ma'an selama dua malam untuk memikirkan persoalan ini. Mereka berpikir  langkah apa yang harus dilakukan dalam menghadapi  pasukan besar yang jumlah dan kekuatannya amat menggiriskan. Pendapat yang terkuat di antara mereka mengusulkan agar menulis surat kepada Rasul untuk mengabarkan  jumlah pasukan musuh yang begitu besar. Ada juga yang berpendapat agar segera meminta bantuan Rasul untuk menambah pasukan atau memerintahkan mereka dengan apa yang dilihat. Namun, Abdullah bin Ruwahah justru berpendapat lain. Dia maju lebih ke depan lalu berkata lantang di hadapan kaum muslimin, "Hai kaum, demi Allah, sesungguhnya yang kalian benci justru yang kalian cari, yaitu  syahid! Kita keluar tidak memerangi manusia karena jumlah pasukan [yang besar], jika tidak dengan kekuatan, dan tidak juga dengan pasukan yang banyak. Kita tidak berperang kecuali dengan agama yang Allah memuliakan kita dengannya. Marilah kita berangka!  Sesungguhnya di tengah kita akan ada satu di antara dua kebaikan:  menang atau mati syahid!"

Kata-kata ini membakar semangat pasukan Islam. Kekuatan iman yang mendorong bertempur menjalar dan menembus jantung pasukan, sehingga mereka dipacu untuk melanjutkan perjalanan hingga tiba di Desa Masyarif. Di tempat ini,  pasukan gabungan Romawi bertemu mereka, lalu mereka menyingkir dari Masyarif dan turun ke Mu'tah. Di tempat ini, pasukan Islam membuat pertahanan. Di tempat ini pula (Mu'tah) peperangan yang paling dahsyat dan menakutkan mulai terjadi. Pasukan Islam dan  Romawi bertempur untuk saling mengalahkan. Maut mengangakan  mulutnya yang merah. 3000 pasukan Islam yang mencari syahid harus bertempur mati-matian melawan  100.000 atau 200.000 pasukan kafir yang bersatu untuk membinasakan pasukan kaum muslimin. Api peperangan  bergelombang dan bergulung-gulung seperti gulungan tungku api. Zaid bin Haritsah, komanda tempur pasukan Islam, membawa bendera Nabi dan bergerak maju ke jantung pertahanan musuh. Dia melihat maut membayang di hadapannya, namun dia tidak takut karena dia memang mencari syahid di jalan Allah. Zaid terus merangsek ke tengah pertahanan musuh dengan keberanian yang melampaui batas gambaran khayalan karena dia bertempur dengan  mencari syahid. Hingga akhirnya, sebatang tombak musuh berhasil merobek tubuhnya. Zaid tersungkur dan bendera segera diambil Ja'far bin Abi Thalib. Dia seorang pemuda tampan dan pemberani. Umurnya masih 33 tahun. Hidupnya sudah dipasrahkan pada Allah. Laki-laki gagah, adik Ali bin Abi Thalib ini berperang dengan  mencari syahid. Ketika  musuh telah mengepung kudanya dan melukai tubuhnya,  Ja'far justru semakin maju ke tengah musuh dengan memukulkan pedangnya memutar. Tiba-tiba seorang tentara Romawi menyerang dan memukulnya dari arah samping. Pukulan itu berhasil membelah tubuhnya menjadi dua dan Ja'far gugur. Lalu bendera disambar 'Abdullah bin Ruwahah, kemudian membawanya maju dengan menunggang kuda. Namun, untuk beberapa saat, 'Abdullah sempat ragu dan  maju-mundur, akan tetapi akhirnya dia melesat ke depan dan berperang hingga akhirnya terbunuh juga di pedang musuh. Bendera diambil Tsabit bin Aqram seraya berteriak lantang, "Hai kaum muslimin, pilihlah seorang komandan yang patut di antara kalian!" Tidak berapa lama, mereka memilih Khalid bin Walid.

Khalid memegang bendera dan bergerak memutar  sehingga berhasil merapatkan barisan pasukannya, kemudian  membawanya berhenti untuk bertahan hingga memasuki malam. Pada waktu itu dua pasukan saling menahan diri untuk tidak  berbenturan hingga waktu subuh. Di tengah malam, setelah melihat pasukan musuh yang sangat besar dan pasukannya yang semakin menyusut dan lemah, Khalid mengambil keputusan untuk menarik  mundur pasukannya dengan tanpa berperang. Dengan pertimbangan ini, Khalid membagi-bagi pasukannya dalam beberapa kesatuan kecil dan memerintahkan mereka membuat asap (kepulan debu) dan keributan di waktu subuh yang sekiranya akan menimbulkan gambaran pada musuh bahwa pasukan Islam telah mendatangkan pasukan bantuan dari Nabi saw. Ketika taktik ini dilakukan, musuh benar-benar cemas dan mereka segera mengurungkan niat menyerang kaum muslimin. Pasukan Islam bergembira karena  tanpa Khalid melanjutkan serangan,   musuh sudah mengambil keputusan mundur, dan perang yang tidak berimbang tidak terjadi. Kemudian diputuskan pasukan kaum muslimin kembali ke Madinah meninggalkan medan dengan selamat berkat garis kebijakan yang diletakkan Khalid. Dengan demikian, mereka kembali dengan tanpa dikalahkan dan dihancurkan. Akan tetapi, dalam peperangan ini, mereka mendapat cobaan yang mengandung pelajaran yang baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar